Condronegoro dari Serang yang Bukan Condronegoro dari Panture

Di Serang pada tahun 1849-1874 terdapat seorang bupati bernama RAA Tjondronegoro. Sebelumnya, pada tahun 1848-1849 ia menjadi bupati diPandeglang. Apakah ia adalah bagian dari klan Condronegoro yang terkenal itu?



Ternyata bukan.

Hanya gelar

Pada masa itu, nama gelar seseorang bisa sama. Tinggal diajukan ke Pemerintah Kolonial dan disetujui.  Jadi hanya kebetulan nama gelarnya sama.

Potret Lawas menyatakan bahwa itu hanya kesamaan nama gelar saja. Famili Tjondronegoro yang berkuasa di
sepanjang pantai utara Jawa Tengah bagian sebuah klan besar yang berakar
dari Surabaya. Sementara Tjondronegoro Serang lebih mirip pemain tunggal, turunannya pun tak ada yang jadi bupati.

Di Sidoarjo pada tahun 1900an juga ada bupati dengan nama sama dan dimakamkan di
pemakaman keluarga Tjondronegoro di belakang Masjid Agung Sidoarjo. Menurut akun twitter ini, hal itu hanya kebetulan namanya sama. Bahkan sebelum salin jadi Tjondronegoro, bupati
Sidoarjo tsb lebih dulu memakai nama Tjondrowinoto pada 1882-95.
Nama gelar berawalan Tjondro (bulan) memang umum dipakai. Selain juga misalnya Tjokro, Djojo, Koesomo, atau Sosro.

Jadi Tjondronegoro itu sebenarnya sebuah gelar yang diberikan oleh pemerintah yang berkuasa saat itu dan bisa diajukan ke mereka untuk disetujui. Begitu
pun di Kraton/Kasunanan/Mangkunegaran/Pakualaman, yang semacam itu
gelar untuk pribadi saja. Bukan marga. Bukan untuk diturunkan serta
merta.

Tentang Bupati Condronegoro dari Serang

Menurut akun Potret Lawas
Di
luar kelaziman masanya, pria bernama lahir Basudin ini meniti karir
pemerintahan dari nol. Bukan turunan elite, patronasi Residen Banten
F.H. Smulders-lah yang mengantarnya ke tonggak kekuasaan. Basudin
asalnya dari Semarang. Atau setidaknya di sanalah ia magang kerja
sebelum dibawa Smulders ke Banten pada 1828, saat usianya 25 tahun.

Di
Banten mula dijadikan klerk atawa juru tulis, lalu adjunct djaksa, naik
ke hoofd-djaksa, hingga akhirnya diangkat jadi Patih Serang. Mekarnya karir Basudin beririsan dg tamatnya Kesultanan Banten – Syafiuddin, pewaris tahta terakhir dibuang ke Surabaya. Sebaliknya
kuasa Hindia Belanda kian kuat. Dan diperkuat antaranya dg mengangkat
orang luar Banten ke kursi jabatan tinggi. Basudin termasuk yang kena
sampur.

Dua dekade yusai menginjakkan kaki ke Banten, Basudin jadi bupati Pandeglang. Tak
lama ia dioper ke Serang menggantikan bupati Mandura Radja Djajanegara.
Selain mampu, ia dianggap punya pengaruh lewat Ratu Siti Aminah,
istrinya yang masih famili sultan.

Kebijakan pemerintah Hindia menempatkan orang² luar ini dianggap berhasil untuk masa pendek. Namun,
di sisi lain menyemai sekam perlawanan dan persaingan yang ujungnya
membuat situasi Banten tak nyaman: penuh perkubuan dan intrik yang
merongrong pemerintahan kolonial sendiri.

Tak heran masa jabatan juga Tjondronegoro penuh drama. Dari tuduhan selingkuh hingga salah guna kuasa oleh istrinya. Beruntung
nama baiknya sudah terbina lama. Dus, meski pemerintahannya rapuh, ia
tetap disegani penguasa kolonial hingga pensiun pada 1874.

Related Posts

Post a Comment

Subscribe Our Newsletter