Kecu dan Koyok: Sejarah Perampokan di abad XIX



Lama sekali saya tak menulis di blog ini. Alhamdulillah, setelah beberapa kali perenungan (tsah), saya mengisinya kembali dengan beberapa temuan sejarah yang menarik minat saya. Setidaknya, catatan-catatan tersebut tidak sedemikian tercecer ke mana-mana. Keuntungannya adalah, blog ini terisi kembali. Dan somehow, saya tergelitik menulis di sini setelah merangkum beberapa fakta sejarah ekonomi Indonesia, terkhusus tentang potret kriminalitas warga, yang disebut kecu dan koyok. 2 sebutan bagi perampok rumah pada malam hari, yang biasanya disertai penyiksaan korban.







Foto pinjam dari Pixabay.com





Pada tahun 1870-an, politik ekonomi liberal telah diberlakukan oleh pemerintah Belanda. Semua investor (asing maupun pribumi) yang memiliki dana, boleh membuat usaha. Pabrik dan perkebunan baru banyak dibuka. Dengan bantuan aparat dan pemerintah, investor bisa menyewa tanah secara paksa (bisa sampai 75 tahun) dengan harga murah. Pada masa ini, mereka yang kaya semakin kaya, selain golongan ini, bekerja pada mereka. Kondisi ekonomi yang seperti ini memicu banyak kelaparan dan paceklik (kekurangan bahan pangan). Kesimpulan ini diambil dari pengamatan bulan yang paling sering terjadi kasus pencurian dan perampokan, yaitu pada bulan September. Beberapa perampokan terjadi pada bulan April. Ketika musim panen (tebu), tak ada kasus pencurian dan perampokan.





Dalam kondisi seperti ini, kecu dan koyok merajalela. Mereka adalah sekelompok orang perampok yang mencuri pada malam hari, dan tak jarang disertai kekerasan dan penyiksaan korban perampokan. Perbedaan kecu dan koyok ada pada jumlah perampok. Kecu biasanya beranggotakan banyak orang, sedangkan koyok hanya terdiri dari 1 atau 2 perampok dalam satu kali aksi Selain kecu dan koyok, adalagi perampok lain yang mengancam warga, yaitu begal, pencuri dan rajakaya. Begal menyerang korbannya di persimpangan jalan, dan tidak harus dilakukan pada malam hari. Pencuri bisa beraksi kapan saja, ketika korban lengah, sedangkan rajakaya adalah sebutan bagi para pencuri ternak.







Foto pinjam dari Pixabay.com





Jumlah kasus kecu dan koyok cukup banyak pada masa itu. Korbannya pun tidak hanya orang Eropa dan Cina, namun juga orang-orang Jawa yang kaya. Orang Jawa yang menjadi korban dan tercatat adalah Kartawijaya dari desa Turisari, Kecamatan Kampung Kidul. Juga Kartaboga, seorang bekel dari Serengan Kecamatan Colo Madu. Menurut data yang dihimpun di Surakarta, kecu dan koyok menyerang 3 afdelling, yakni Klaten, Bayalali, dan Wanagiri, berikut jumlah kasus pada tahun 1872 - 1879:




  1. Pada tahun 1872, terdapat 24 kasus.

  2. Pada tahun 1873, terdapat 21 kasus

  3. Pada tahun 1877, terdapat 17 kasus

  4. Pada tahun 1879, terdapat 8 kasus








Menurunnya jumlah kasus perampokan disertai kekerasan pada abad XIX ini karena pemerintah daerah meningkatkan kegiatan ronda desa (patrolan dusun) dan menambah jumlahnya pada desa-desa yang rawan. Jadwal ronda diatur ketat dan para mantri gunung serta aparat sering melakukan inspeksi. Rumah orang kaya juga dijaga para bekel. Bunyi tertentu disepakati sebagai isyarat, sehingga penyergapan kecu dan koyok cepat terjadi.







Foto pinjam dari www.acehtrend.com





Upaya pencegahan yang lainnya adalah dibuatnya beberapa kebijakan yang dibuat para gunung dan wedana gunung, yaitu:




  1. Penduduk wajib menanam bambu ori di sekitar wilayah desa.

  2. Jalan di desa harus berpagar tanaman hidup.

  3. Semua rumah punya pintu berkunci

  4. Jalan bagi manusia tidak dicampur dengan jalan bagi hewan

  5. Setiap pintu masuk desa harus diberi gerbang dan gardu jaga yang dijaga minimal 3 orang sejak pukul 18.00 - 06.00 pagi.

  6. Tiap penjaga dibekali minimal sepadan dengan senjata yang dibawa perampok, yaitu canggah tombak. pedang dan tampar.

  7. Pada jam tertentu harus membunyikan kentongan. Beberapa nada disepakati, sehingga ketika terjadi sesuatu, penduduk akan langsung tahu. Sebagian membantu ke lokasi, sebagian lagi ikut membunyikan kentongan untuk memanggil lebih banyak bala bantuan.



Semua warga wajib mengikuti aturan ini dengan ancaman pidana. Pemerintah daerah bertugas mengawasi kegiatan keamanan ini. Sekadar tahu, tata pemerintahan pada masa itu ditentukan oleh Bupati dan harus atas persetujuan Residen. Para kepala disktrik (afdelling) pada masa itu disebut wedana gunung. Tugasnya sebagai pejabat birokrasi merangkap pejabat keamanan. Wedana gunung dibantu oleh para gunung atau pejabat setingkat kecamatan (onderdistrict).





Pengaturan kebijakan keamanan yang cukup canggih dan terstruktur, ya. Rasanya sulit dipercaya, dan saya senang sekali saat membacanya, sehingga memutuskan merangkum dan menyarikan buku yang sedang saya baca di blog ini. Ah, ya, kamu bisa membacanya di buku "Kapitalisme Bumi Putra: Perubahan Masyarakat Mangkunegaran", karya Wasino yang terbit pada tahun 2008 melalui penerbit LKiS Yogyakarta. Halaman 323 - 332, ya.





Ok, sekian dulu tulisan saya kali ini. Semoga ada manfaatnya untukmu. Bagi saya sih.... bermanfaat bangeeet... karena saya sedang senang menulis sejarah.


Related Posts

4 comments

  1. Wah informasinya sangat bermanfaat nih. Terima kasih informasinya :)

    ReplyDelete
  2. Baru tahu kalau koyok nama penjahat haha, tahunya buat menghilangkan pegal doang. Kece infonya :)

    omnduut dot com

    ReplyDelete
  3. wah. aku suka cerita sejarah jaman dulu seperti ini. baru tahu bahwa dulu jalan buat manusia dan hewan itu sempat harus dibedakan demi keamanan wilayah.

    ReplyDelete
  4. Informasinya lengkap banget,
    Tpi yang pake kentungan dgn bambu, didesa saya di Purwokerto masih ada.
    Biasanya ada hansip yang keliling atau pos ronda masih ada.

    ReplyDelete

Post a Comment

Subscribe Our Newsletter